Minggu, 07 November 2010

KRITIK ARSITEKTUR (KRITIK NORMATIF)

KRITIK NORMATIF

Masjid Dian Al Mahri di Depok, Indonesia

Masjid dengan kubah emas yang terbaru adalah Masjid Dian Al Mahri yang letaknya di Depok, Jawa Barat, tepatnya di Jalan Meruyung, Kelurahan Limo, Kecamatan Cinere, Depok. Masjid ini mulai di bangun pada tahun 1999, dan di resmikan pada bulan April tahun 2006. Masjid ini merupakan milik pribadi dari Hajjah (Hj) Dian Djurian Maimun Al-Rasyid,seorang pengusaha dari Serang, Banten dan pemilik Islamic Center Yayasan Dian Al-Mahri.
Masjid ini luas bangunannya mencapai 8.000 meter persegi dan berdiri di atas lahan seluas 70 hektare. Secara umum, arsitektur masjid mengikuti tipologi arsitektur masjid di Timur Tengah dengan ciri kubah, minaret (menara), halaman dalam (plaza), dan penggunaan detail atau hiasan dekoratif dengan elemen geometris dan obelisk, untuk memperkuat ciri keislaman para arsitekturnya. Ciri lainnya adalah gerbang masuk berupa portal dan hiasan geometris serta obelisk sebagai ornamen.
Halaman dalam berukuran 45 x 57 meter dan mampu menampung 8.000 jemaah. Enam menara (minaret) berbentuk segi enam, yang melambangkan rukun iman, menjulang setinggi 40 meter. Keenam menara itu dibalut batu granit abu-abu yang diimpor dari Italia dengan ornamen melingkar. Pada puncaknya terdapat kubah berlapis mozaik emas 24 karat. Sedangkan kubahnya mengacu pada bentuk kubah yang banyak digunakan masjid-masjid di Persia dan India. Lima kubah melambangkan rukun Islam, seluruhnya dibalut mozaik berlapis emas 24 karat yang materialnya diimpor dari Italia.
Pada bagian interiornya, ada pilar-pilar kokoh yang menjulang tinggi guna menciptakan skala ruang yang agung. Ruang masjid didominasi warna monokrom dengan unsur utama warna krem. Materialnya terbuat dari bahan marmer yang diimpor dari Turki dan Italia. Di tengah ruang, tergantung lampu yang terbuat dari kuningan berlapis emas seberat 2,7 ton, yang pengerjaannya digarap ahli dari Italia.
Di sekitar masjid dibuat taman dengan penataan yang apik dan detail. Selain taman, juga dibangun rumah tinggal sang pendiri masjid dan gedung serbaguna yang menjadi tempat istirahat para pengunjung .Sedangkan untuk parkir, disiapkan lahan seluas 7.000 meter persegi yang mampu menampung kendaraan 300 bus atau 1.400 kendaraan kecil.
Untuk mencapai lokasi ini cukup mudah, dapat digunakan angkutan umum dari terminal depok ( nomor 03) yang menuju parung bingung. Dari sini bisa menggunakan ojek menuju jalan Meruyung.















Sabtu, 15 Mei 2010

Kepadatan dan Kesesakan

Kepadatan dan kesesakan adalah dua dari beberapa konsep gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya. Kedua konsep ini saling berhubungan dan berkaitan satu sama lainnya, sehingga dapat digabungkan ke dalam satu bab tersendiri. Adapun materi-materi yang akan dibahas di dalamnya meliputi:

Kepadatan, meliputi:

A. Pengertian Kepadatan

B. Kategori Kepadatan

C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi

D. Kepadatan dan Perbedaan Budaya

Kesesakan, meliputi:

A. Pengertian Kesesakan

B. Teori-teori Kesesakan

a. Teori Informasi Berlebih

b. Teori Psikologi Ekologi

c. Teori Kendala Perilaku

C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan

Faktor Personal

Faktor Sosial

Faktor Fisik

D. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku

KEPADATAN

A. Pengertian Kepadatan

Kepadatan atau density ternyata mendapat perhatian yang serius dari para ahli psikologi lingkungan. Menurut Sundstrom, kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan (dalam Wrightsman & Deaux, 1981). Atau sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik (Holahan, 1982; Heimstra dan McFarling,1978; Stokols dalam Schmidt dan Keating, 1978). Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya (Sarwono, 1992)

Penelitian tentang kepadatan pada manusia berawal dari penelitian terhadap hewan yang dilakukan oleh John Calhoun. Penelitian Calhoun ini bertujuan untuk mengetahui dampak negatif kepadatan dengan menggunakan hewan percobaan tikus. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perilaku kanibal pada hewan tikus seiring dengan bertambahnya jumlah tikus (dalam Worchel dan Cooper, 1983). Secara terinci hasil penelitian Calhoun (dalam Setiadi, 1991) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, dalam jumlah yang tidak padat (kepadatan rendah), kondisi fisik dan perilaku tikus berjalan normal. Tikus-tikus tersebut dapat melaksanakan perkawinan, membuat sarang, melahirkan, dan membesarkan anaknya seperti halnya kehidupan alamiah.

Kedua, dalam kondisi kepadatan tinggi dengan pertumbuhan populasi yang tak terkendali, ternyata memberikan dampak negatif terhadap tikus-tikus tersebut. Terjadi penurunan fisik pada ginjal, otak, hati, dan jaringan kelenjar, serta penyimpangan perilaku seperti hiperaktif, homoseksual, dan kanibal. Akibat keseluruhan dampak negatif tersebut menyebabkan penurunan kesehatan dan fertilitas, sakit, mati, dan penurunan populasi.

Selain itu pengamatan yang dilakukan oleh Dubos (dalam Setiadi, 1991) terhadap jenis tikus Norwegia, menunjukkan bahwa apabila jumlah kelompok telah terlalu besar (over populated), maka terjadi penyimpangan perilaku tikus-tikus itu dengan menceburkan diri ke laut. Hal ini diakibatkan oleh tidak berfungsinya otak secara wajar karena kepadatan tinggi tersebut. Tentu saja hasil penelitian terhadap hewan ini tidak dapat diterapkan pada manusia secara langsung karena manusia mempunyai akal dan norma dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, untuk penelitian kepadatan pada manusia cenderung didasarkan pada data sekunder yaitu data-data yang sudah ada, dari data-data tersebut diamati gejala-gejala yang sering muncul dalam masyarakat.

Penelitian terhadap manusia yang pernah dilakukan oleh Bell (dalam Setiadi, 1991) mencoba memerinci: bagaimana manusia merasakan dan bereaksi terhadap kepadatan yang terjadi; bagaimana dampaknya terhadap tingkah laku sosial; dan bagaimana dampaknya terhadap task performance (kinerja tugas)? Hasilnya memperlihatkan ternyata banyak hal- hal yang negatif akibat dari kepadatan.

- Pertama, ketidaknyamanan dan kecemasan, peningkatan denyut jantung dan tekanan darah, hingga terjadi penurunan kesehatan atau peningkatan pada kelompok manusia tertentu.

- Kedua, peningkatan agresivitas pada anak-anak dan orang dewasa (mengikuti kurva

linear) atau menjadi sangat menurun (berdiam diri/murung) bila kepadatan tinggi sekali (high spatial density). Juga kehilangan minat berkomunikasi, kerjasama, dan tolong-menolong sesama anggota kelompok.

- Ketiga, terjadi penurunan ketekunan dalam pemecahan persoalan atau pekerjaan. Juga penurunan hasil kerja terutama pada pekerjaan yang menuntut hasil kerja yang kompleks.

Dalam penelitian tersebut diketahui pula bahwa dampak negatif kepadatan lebih berpengaruh terhadap pria atau dapat dikatakan bahwa pria lebih memiliki perasaan negative pada kepadatan tinggi bila dibandingkan wanita. Pria juga bereaksi lebih negatif terhadap anggota kelompok, baik pada kepadatan tinggi ataupun rendah dan wanita justru lebih menyukai anggota kelompoknya pada kepadatan tinggi. Pembicaraan tentang kepadatan tidak akan terlepas dari masalah kesesakan. Kesesakan atau crowding merupakan persepsi individu terhadap keterbatasan ruang, sehingga lebih bersifat psikis (Gifford, 1978; Schmidt dan Keating. 1979; Stokols dalam Holahan, 1982).

Kesesakan terjadi bila mekanisme privasi individu gagal berfungsi dengan baik karena individu atau kelompok terlalu banyak berinteraksi dengan yang lain tanpa diinginkan individu tersebut (Altman, 1975). Menurut Altman (1975), Heimstra dan McFarling (1979) antara kepadatan dan kesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapi bukan satu-satunya syarat yang dapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).

B. Kategori Kepadatan

Menurut Altman (1975), di dalam studi sosiologi sejak tahun 1920-an, variasi indicator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial. Variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu dalam sebuah kota, jumlah individu pada daerah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar dan lain-lain.

Sedangkan Jain (1987) berpendapat bahwa tingkat kepadatan penduduk akan dipengaruhi oleh unsur-unsur yaitu jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit rumah tinggal, jumlah unit ramah tinggal pada setiap struktur hunian dan jumlah struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Hal ini berarti bahwa setiap pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda tergantung dari konstribusi unsur-unsur tersebut.

Kepadatan dapat dibedakan kedalambeberapakategori. Holahan (1982) menggolongkan kepadatan ke dalam dua kategori, yaitu kepadatan spasial (spatial density) yang terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah.individu tetap, sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan menurunnya besar ruang, dan kepadatan sosial (social density) yang terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.Altman(1975)membagikepadatan menjadi kepadatan dalam (inside density) yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah, kamar; dan kepadatan luar (outside density) yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Jain (1987) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian padasetiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapatdikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah. Zlutnick dan Altman (dalam Altman, 1975; Holahan, 1982) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu:

(1) Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan

dalam yang rendah;

(2) Wilayah desa miskin di mana kepadatan dalam tinggi sedangkan

kepadatan luar rendah; dan

(3) Lingkungan Mewah Perkotaan, di mana kepadatan dalam

rendah sedangkan kepadatan luar tinggi;

(4) Perkampungan Kota yang ditandai dengan

tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi.

C. Akibat-akibat Kepadatan Tinggi

Pada bagian sebelumnya telah disajikan secara singkat beberapa bahasan mengenai akibat-akibat kepadatan tinggi, terutama pada penelitian pendahuluan pada binatang dan penelitian lanjutan pada manusia. Pada bagian ini akan banyak dibahas akibat-akibat kepadatan tinggi pada manusia dalam penyajian yang lebih lengkap dan sistemastis.

KESESAKAN

A. Pengertian Kesesakan

Menurut Altman (1975), kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) sebagaimana yang telah dibahas di bab terdahulu tidaklah jelas benar, bahkan kadang-kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang. MenurutAltman(1975),HeimstradanMcFarling(1978)antara kepadatan dankesesakan memiliki hubungan yang erat karena kepadatan merupakan salah satu syarat yang dapat menimbulkan kesesakan, tetapibukan satu-satunya syaratyangdapat menimbulkan kesesakan. Kepadatan yang tinggi dapat mengakibatkan kesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982).Baum dan Paulus ( 1987) menerangkan bahwa proses kepadatan dapat dirasakan sebagai kesesakan atau tidak dapat ditentukan oleh penilaian individu berdasarkan empat faktor:

a. karakteristik seting fisik

b. karakteristik seting sosial

c. karakteristik personal

d. kemampuan beradaptasi

Stokols (dalam Altman, 1975) membedakan antara kesesakan bukan sosial {nonsocial crowding) yaitu di mana faktor-faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial {social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler dan molar. Kesesakan molar {molar crowding) yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi

penduduk kota, sedangkan kesesakan molekuler {moleculer crowding) yaitu perasaan sesak yang menganalisis mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian interpersonal. Morris (dalam Iskandar, 1990) memberi pengertian kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang daiam suatu hunian rumah,maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya

kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda.

Besar kecilnya ukuran rumah menentukan besarnya rasio antara penghuni dan tempat {space) yang tersedia. Makin besar rumah dan makin sedikit penghuninya, maka akan semakin besar rasio tersebut. Sebaliknya, makin kecil rumah dan makin banyak penghuninya, maka akan semakin kecil rasio tersebut, sehingga akan timbul perasaan sesak {crowding) (Ancok, 1989).

Adapun kesesakan dikatakan sebagai keadaan motivasional yang merupakan interaksi dari faktor spasial, sosial dan personal, dimana pengertiannya adalah persepsi individu terhadap keterbatasan ruang sehingga timbul kebutuhan akan ruang yang lebih luas. Jadi rangsangan berupa hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan ruang di sini kemudian diartikan sebagai suatu kekurangan.

Pendapat lain datang dari Kapoport (dalam Stokols dan Altman, 1987) yang mengatakan kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.

Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.

B. Teori-teori Kesesakan

Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga. model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilaku dan teori ekologi (Bell dkk., 1978; Holahan, 1982). Menurut model beban stimulus, kesesakan akan terjadi pada individu yang dikenai terlalu banyak stimulus, sehingga individu tersebut tak mampu lagi memprosesnya. Model kendala perilaku menerangkan bahwa kesesakan terjadi karena adanya kepadatan sedemikian rupa, sehingga individu merasa terhambat untuk melakukan sesuatu. Hambatan ini mengakibatkan individu tidak dapat mencapai tujuan yang diinginkannya. Terhadap kondisi

tersebut, individu akan melakukan psychological reactance, yaitu suatu bentuk perlawanan terhadap kondisi yang mengancam kebebasan untuk memilih. Bentuk psychological reac-tance tersebut adalah usaha-usaha untuk mendapatkan lagi kebebasan yang hilang, misalnya dengan cara mencari lingkungan baru atau dengan menata kembali lingkungan yang menyesakkan tersebut. Sedangkan pembahasan teori ekologi membahas kesesakan dari

sudut proses sosial.

Teori Beban Stimulus. Pendapat teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating ( 1979) mengatakan bahwa stimulus di sini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya, maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang

menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial. Berlebihnya informasi dapat terjadi karena beberapa faktor, sepati :

(a) kondisi lingkungan fisik yang tidak menyenangkan

(b) jarak antar individu (dalam arti fisik) yang terlalu dekat

(c) suatu percakapan yang tidak dikehendaki

(d) terlalu banyak mitra interaksi

(e) interaksi yang terjadi dirasa terlalu dalam atau terlalu lama

Individu akan melakukan penyaringan atau pemilahan terhadap informasi yang berlebihan tersebut. Stimulus yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingannya akan diabaikan. Stimulus yang penting dan bermanfaat bagi dirinyalah yang akan diperhatikan (Bell dkk., 1978; Holahan, 1982), Hal tersebut disarankan oleh Milgram (dalam Perlman dan Cosby,1983) bagi penduduk kota untuk melakukan beberapa strategi untuk menyaring informasi yang mereka terima berlebih. Strategi pertama adalah membuat perbedaan-perbedaan antara informasi yang mendapat prioritas tinggi dengan rendah dan hanya akan memperhatikan informasi yang mendapat prioritas tinggi.-Strategi kedua adalah membatasi waktu yang digunakan untuk memperhatikan tiap-tiap informasi bahkan menolak informasi yang dating bersama-sama. Dengan strategi ini diharapkan intensi informasi yang datang akan berkurang. Teori Ekologi. Micklin (dalam Holahan, 1982) mengemukakan sifat-sifat umum model

ekologi pada manusia.

Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbale balik antara orang dengan lingkungannya.

Kedua, unit analisisnya adalah kelompok social dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting.

Ketiga,menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.Wicker ( 1976) mengemukakan teorinya tentang manning. Teori ini berdiri atas pandangan bahwa kesesakan tidak dapat dipisahkan dari faktor seting dimana hal itu terjadi, misalnya pertunjukan kethoprak atau pesta ulang tahun.

Analisis terhadap seting meliputi :

1) Maintenance Minimum, yaitu jumlah minimum manusia yang mendukung suatu seting agar suatu aktivitas dapat berlangsung. Agar pembicaraan menjadi lebih jelas, akan digunakan kasus pada sebuah rumah sebagai contoh suatu seting. Dalam hal ini, yang dinamakan maintenance setting adalah jumlah penghuni rumah minimum agar suatu ruang tidur ukuran 4x3 meter bisa dipakai oleh anak-anak supaya tidak terlalu sesak dan tidak terlalu longgar.

2) Capacity, adalah jumlah maksimum penghuni yang dapat ditampung oleh seting tersebut (jumlah orang maksimum yang dapat duduk di ruang tamu bila sedang dilaksanakan hajatan).

3) Applicant, adalah jumlah penghuni yang mengambil bagian- dalam suatu seting. Applicant dalam seting rumah dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

Performer, yaitu jumlah orang yang memegang peran utama, dalam hal ini suami

dan isteri. Non-performer, yaitu jumlah orang yang terlibat dalam peran-peran sekunder, dalam hal ini anak-anak atau orang lain dalam keluarga. Besm\y&maintenancèminimumanteTaperformerdannon-performerùdak selalu sama. Dalam seting tertentu, jumlah performer lebih sedikit daripada jumlah non-performer, dalam seting lain mungkin sebaliknya.

Jika applicant lebih sedikit daripada maintenance minimum, berarti jumlah warga yang dibutuhkan untuk terjadinya suatu aktivitas tidak mencukupi. Keadaan ini disebut Pada dasarnya kesesakan akan terjadi bila sistem regulasi privasi seseorang tidak berjalan secara efektif sehingga lebih banyak kontak sosial yang tidak diinginkan. Akan tetapi sebenarnya kesesakan juga dapat terjadi meskipun seseorang berhasil mencapai tingkat privasi yang diinginkan. Kesesakan timbul karena ada usaha-usaha yang terlalu banyak, yang membutuhkan energi fisik maupun psikis untuk mengatur tingkat interaksi yang diinginkan.

Menurut Altman kondisi kesesakan yang ekstrim akan timbul bila faktor-faktor di bawah ini muncul secara simultan:

1 ). Kondisi-kondisi pencetus, terdiri dari tiga faktor:

a) Faktor-faktor situasional, seperti kepadatan ruang yang tinggi dalam jangka waktu yang lama, dengan sumber-sumber pilihan perilaku yang terbatas.

b) Faktor-faktor personal, seperti kurangnya kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam situasi yang padat dan rendahnya keinginan berinteraksi dengan orang lain yang didasarkan pada latar belakang pribadi, suasana hati, dan sebagainya.

c) Kondisi interpersonal, seperti gangguan sosial, ketidakmampuan memperoleh

sumber-sumber kebutuhan, dan gangguan-gangguan lainnya.

2). Serangkaian faktor-faktor organismik dan psikologis seperti stres, kekacauan pikiran, dan perasaan kurang enak badan.

3). Respon-respon pengatasan, yang meliputi beberapa perilaku verbal dan non verbal yang tidak efektif dalam mengurangi stres atau dalam mencapai interaksi yang diinginkan dalam jangka waktu yang panjang atau lama.

Jadi kunci utama dalam kerangka pikiran yang dikemukakan oleh Altman adalah bahwa kesesakan yang ekstrim akan timbul bila keseluruhan faktor-faktor tersebut di atas muncul secara bersama-sama atau simultan. Misalnya seseorang yang sedang berada dalam situasi sosial yang padat, selama jangka waktu yang lama, tidak menginginkan interaksi, dan memiliki perasaan stres yang diasosiasikan dengan berbagai macam perilaku pengatasan yang tidak berjalan dengan baik, atau pengatasan tersebut membutuhkan terlalu banyak

energi. Oleh karena faktor-faktor tersebut akan timbul dalam jumlah yang berbeda-beda,maka akan timbul efek kesesakan yang berbeda-beda tingkatannya.

Kesesakan juga dapat timbul bila variabel-variabel tertentu tidak ada, seperti misalnya tidak ada kepadatan. Contohnya jika ada dua orang saja dalam suatu ruangan yang luas, yang satu mengganggu yang lain, dan orang yang diganggu tersebut tidak mampu mengusir orang yang mengganggu itu, sehingga akan timbul stres yang dapat mengurangi efektivitas respon-respon pengatasan, maka kesesakan akan timbul. Altman ( 1975) membuat model kesesakan tersebut.

Model tersebut menerangkan bahwa dap individu mempunyai tingkat privasi yang berbeda-beda. Privasi yang diinginkan seseorang terbentuk dari kombinasi faktor-faktor personal, interpersonal, dan situasional. Kombinasi dari faktor-faktor tersebut disebut dengan situation definition.

Untuk mendapatkan interaksi yang diinginkan individu menggunakan bermacam-

macam mekanisme penyesuaian diri (coping), antara lain verbal, paraverbal, non verbal, ruang personal, dan perilaku teritori.

C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan fisik, yang akan dibahas satu persatu.

Faktor Personal. Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya, pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.

a). Kontrol pribadi dan locus of control

Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai control terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol pribadi di dalamnya. Penelitian yang dilakukan di asrama mahasiswa mendapatkan kesimpulan bahwa hilangnya pengaturan kontrol pada tempat tinggal yang padat ditandai dengan adanya rasa sesak. Kelompok mahasiswa penghuni asrama yang lebih sempit mulai merasakan tempat tinggal mereka lebih sesak setelah kehilangan kontrol atas pengalaman-pengalaman sosial yang terjadi disbanding kelompok mahasiswa penghuni asrama yang lebih luas (Baum, Aiello dan Calesnick, 1978). Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinyalah yang berpengaruh terhadap kehidupannya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih

baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987)

b). Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford, 1987), yang mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda, dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia.

Sundstrom (dalam Gifford, 1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalamkondisi padat dimana kesesakan terjadi dapat mempengaruhi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu terhadap stres akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna bila individu dihadapkan pada situasi yang baru. Bell dan kawan-kawan (1978) mengatakan bahwa semakin sering atau konstan suatu stimulus muncul, maka akan timbul proses pembiasaan yang bersifat psikologis (adaptasi) dan fisik (habituasi) dalam bentuk respon yang menyebabkan kekuatan stimulus tadi melemah. Karena proses pembiasaan ini berhubungan dengan waktu, maka dalam kaitannya

dengan kesesakan di kawasan tempat tinggal, lamanya individu tinggal di kawasan tersebut akan mempengaruhi perasaan sesaknya.

Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitas-kreativitas manusia untuk melakukan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang, upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif! yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti untuk makan, tidur, dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat diubah-ubah sesuai kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.

Bentuk kreativitas bangsa Jepang lain yang merupakan upaya untuk menekan kesesakan dapat dilihat dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang sifatnya miniatur.

Peficiptaan bonsai dan suiseki merupakan manifestasi keinginan orang Jepang untuk mengintervensi keadaan yang sesak.

Studi lain dilakukan oleh Anderson (dalam Yusuf, 1991) pada keluarga-keluarga Cina yang tinggal secarakomunal di Malaysia. Keluarga-keluarga ini mempertahankan pemisahan ruang yang bisa dikunjungi dan ruang yang tidak bisa dilihat atau ditempati. Mereka juga memelihara pemisahan keluarga tersebut dengan keluarga lain dalam pengertian terdapat beberapa praktek budaya, termasuk di antaranya larangan (bahkan tabu) untuk memasuki dan

melihat ruang tidur orang lain dan mereka membagikan beberapa papan sebagai dinding untuk memisahkan dapur-dapur yang terdapat dalam dapur komunal tersebut.

c). Jenis Kelamin dan usia

Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pada pria pengalaman akan kesesakan ini lebih terlihat dibanding wanita karena lebih menunjukkan sikap-sikap reaktif terhadap kondisi tersebut. Sikap reaktif itu tercemin dalam sikap yang lebih agresif, kompetitif dan negatif dalam berinteraksi dengan orang lain (Altman, 1975; Freedman, 1975; Holahan,1982). Sementara itu Dabbs (1977) mengatakan bahwa perbedaan jenis kelamin tidaklah berpengaruh terhadap kesesakan, melainkan lebih dipengaruhi oleh jenis kelamin mitra yang dihadapi.

Menurut Loo (dalam Gove dan Hughes, 1983) dan Holahan (1982) gejala reaktif

terhadap kesesakan juga lebih terlihat pada individu yang usianya lebih muda dibanding yang lebih tua.

Faktor Sosial. Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat mengalami lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki, tetapi di lain pihak pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut

adalah :

a). Kehadiran dan perilaku orang lain

Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Schiffenbauer (dalam Gifford, 1987) melaporkan bahwa penghuni asrama akan merasa lebih sesak bila terlalu banyak menerima kunjungan orang lain. Penghuni yang menerima kunjungan lebih banyak juga merasa lebih tidak puas dengan ruangan, teman sekamar, dan proses belajar mereka.

b). Formasi koalisi

Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya kepadatan social akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa stres, perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi di satu pihak dan satu orang yang terisolasi di lain pihak (Gifford, 1987).

c). Kualitas hubungan

Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam Gifford, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-orang tersebut.

d). Informasi yang tersedia

Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul sebeium dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).

Sabtu, 10 April 2010

TUTORIAL MANUSIA DAN PERILAKU NEGATIF MANUSIA

Teritorial Manusia Berfungsi

Sebuah Perspektif, empiris Evolusi pada Kelompok Individu dan Kecil Teritorial kognisi, Perilaku, dan Konsekuensi

Lingkungan dan Perilaku

"Fungsi Teritorial" mengacu pada sistem saling terkait dari sentimen, kognisi, dan perilaku yang sangat-tempat tertentu, dan sosial dan budaya ditentukan dan mempertahankan. Dalam buku ini, Ralph Taylor mengeksplorasi konsekuensi dari fungsi teritorial manusia bagi individu, kelompok-kelompok kecil, dan sistem ekologi di mana mereka beroperasi. eksplorasi-Nya diterangi oleh perspektif evolusi, dan didasarkan pada studi empiris oleh para ilmuwan sosial dan dalam pekerjaan teoritis pada evolusi perilaku sosial dan spasial. Dia secara sistematis mengkaji penelitian yang berkaitan dan teori, dan menunjukkan pentingnya fungsi teritorial untuk masalah-masalah sosial dan lingkungan saat ini. Bertentangan dengan kebijaksanaan populer, ia berpendapat bahwa fungsi teritorial yang relevan hanya untuk lokasi yang terbatas, seperti jalan blok, dan tidak untuk lingkungan atau negara-negara bangsa, dan itu mengurangi konflik dan membantu menjaga pengaturan dan kelompok. Nya terfokus secara teoritis pemeriksaan dari semua yang telah ditemukan tentang fungsi teritorial manusia akan bunga berbagai psikolog lingkungan dan desainer, sosiolog perkotaan, psikolog sosial, perencana, dan etolog, dan siswa mereka.

www.amazon.com/Human-Territorial-Functioning.../dp/0521307767

Pengakuan perilaku teritorial

Wilayah awalnya diidentifikasi sebagai ruang fisik yang dapat diintai oleh individu secara tunggal atau sebagai pasangan kawin. "Pemilik" kemudian membela ruang mereka, kadang-kadang sangat keras, dan ketika ditinggalkan oleh pemilik ada kecenderungan kuat untuk kembali ke sanaTeritori mungkin juga diklaim oleh berbagai agregat individu seperti keluarga, suku, atau negara. Setiap spesies telah didefinisikan dengan baik pola kapan, dan bagaimana wilayah didefinisikan dan dipertahankan. Bersarang perilaku pada burung, berburu wilayah di serigala, atau kepemilikan rumah pada manusia merupakan fenomena mudah untuk mengidentifikasi. Namun, definisi awal diuraikan meliputi tidak hanya benda manusia yang lain seperti teman, pasangan, anak-anak, tapi hewan peliharaan, hewan peliharaan dari segala jenis, dan benda-benda fisik seperti mainan, perhiasan, mobil, dan klub golf.. Ini juga bisa berarti, dalam arti lebih luas, apa saja yang telah diklaim untuk orang atau kelompokHal ini mencakup hal-hal tak berwujud seperti area bisnis, pangsa pasar, bidang penelitian, adegan sosial, kontak dan bagaimana seseorang atau kelompok hadiah itu sendiri.

Wilayah sangat dipertahankan. Ketika mereka hilang, dijual, dicuri, mengganggu atau ditangkap, mungkin ada pada manusia intens rasa kehilangan, sangat mirip dengan depresi , dan rasa marah. Hewan juga memiliki reaksi yang serupa, tetapi secara alami tanpa ekspresi emosi dalam bahasa. Wilayah secara fungsional berhubungan dengan perilaku kelangsungan hidup mencari makanan, tempat tinggal, jenis kelamin, dan reproduksi, namun tidak ada upaya di sini untuk menetapkan nilai kelangsungan hidup wilayah atau dominasi. Kehadiran universal prinsip-prinsip dalam berbagai spesies tampaknya untuk berdebat untuk nilai hidup, tapi ada, belum, tidak ada metodologi ilmiah untuk membangun baik keabsahan atau pemalsuan nilai hidup. Selama jangka waktu yang panjang evolusi, manusia telah mengembangkan serangkaian perilaku yang paling rumit teritorial yang berkisar dari hubungan sosial pribadi, untuk kepemilikan tanah, properti, dan benda-benda fisik. Melalui intermediasi bahasa lisan dan tulisan, wilayah dapat diperluas untuk obyek abstrak dan simbolis dan ide-ide seperti agama, sekolah, sistem nilai, dan pekerjaan. Perilaku yang paling jelas teritorial manusia adalah pembentukan dasar rumah, dan kepemilikan rumah. Ini meluas dengan kepemilikan banyak objek dianggap sebagai properti seperti furniture, mobil, pakaian, klub golf, dan jamur klub dan sebagainya. Penggunaan pronomina posesif (saya, Anda,, itu miliknya, kita, mereka) adalah sinyal yang valid perilaku teritorial yang diakui dalam diri dan orang lain.

http://en.wikipedia.org/wiki/Social_group

PERILAKU NEGAIF MANUSIA

Dalam psikologi, penguatan mengacu pada prosedur penyajian atau menghapus rangsangan untuk mempertahankan atau meningkatkan kemungkinan respon perilaku. (Stimulus adalah sesuatu yang menyebabkan respon.) Penguatan biasanya dibagi menjadi dua jenis: positif dan negatif.

http://www.scienceclarified.com/Qu-Ro/Reinforcement-Positive-and-Negative.html


penguatan negatif adalah peningkatan frekuensi perilaku masa depan ketika konsekuensinya adalah penghapusan suatu permusuhan stimulus.

Mematikan (atau menghapus) sebuah lagu menjengkelkan ketika seorang anak meminta orangtua mereka adalah contoh dari penguatan negatif (jika ini menyebabkan peningkatan dalam perilaku meminta anak di masa depan).

Contoh lain adalah jika menekan tombol mouse untuk menghindari kejutan.

Jangan bingung konsep dengan hukuman.

Ada dua variasi tulangan negatif:

  • AC Penghindaran terjadi ketika perilaku mencegah stimulus permusuhan dari mulai atau sedang diterapkan.
  • AC Escape terjadi ketika perilaku menghapus stimulus permusuhan yang telah dimulai.

Minggu, 28 Maret 2010

good night

Ruang Tamu

Bar Home

kamar utama

Perilaku Manusia pada Open Space

Perilaku Arsitektur

Pengertian Ruang Terbuka

Ruang terbuka (Open Space) merupakan ruang terbuka yang selalu terletak di luar massa bangunan yang dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang serta memberikan kesempatan untuk melakukan bermacam-macam kegiatan. Yang dimaksud dengan ruang terbuka antara lain jalan, pedestrian, taman lingkungan, plaza, lapangan olahraga, taman kota dan taman rekreasi (Hakim, 2003 : 50).

Menurut Lao Tze adalah bukan hanya sesuatu yang dibatasi secara fisik oleh lantai, dinding dan langit-langit, tetapi “kekosongan” yang terkandung di dalam bentuk pembatas ruang tadi (ITS, 1976 : 9).

Ruang terbuka ini terbentuk karena adanya kebutuhan akan perlunya tempat untuk bertemu atau berkomonikasi satu sama lain. Dalam satu kawasan permukiman baik yang tradisional maupun permukiman kota sering kita jumpai sebuah alahan kosong yang dijadikan sebagai ruang bersama bagi penghuni yang ada disekitarnya dengan jarak radius tertentu (Bappeda Tk. I Bali , 1992 : 28).

Macam-macam Bentuk Ruang Terbuka

Ruang terbuka sebagai wadah kegiatan bersama, dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu

(Hakim, 2003 : 50) :

1. Ruang Terbuka Umum, dapat diuraikan menjadi berikut :

· Bentuk dasar dari ruang terbuka selalu terletak diluar massa bangunan
· Dapat dimanfaatkan dan dipergunakan oleh setiap orang (warga)
· Memberi kesempatan untuk bermacam-macam kegiatan (multi fungsi).

Contoh ruang terbuka umum adalah jalan, pedestrian, taman lingkungan, plaza lapangan olahraga, taman kota dan taman rekreasi.

2. Ruang Terbuka Khusus, pengertiannya adalah sebagai berikt:

· Bentuk dasar ruang terbuka selalu terletak di luar massa bangunan.
· Dimanfaatkan untuk kegiatan terbatas dan dipergunakan untuk keperluan khusus/ spesifik.

Contoh ruang terbuka khusus adalah taman rumah tinggal, taman lapangan upacara, daerah lapangan terbang, dan daerah untuk latihan kemiliteran.

Ruang terbuka ditinjau dari kegiatanya, menurut kegiatannya ruang terbuka terbagi atas dua jenis ruang terbuka, yaitu ruang terbuka aktif dan ruang terbuka pasif (Hakim, 2003 : 51) :

· Ruang terbuka aktif, adalah ruang terbuka yang mempunyai unsur-unsur kegiatan didalamnya misalkan, bermain, olahraga, jala-jalan. Ruang terbuka ini dapat berupa plaza, lapangan olahraga, tempat bermain anak dan remaja, penghijauan tepi sungai sebagai tempat rekreasi.

· Ruang terbuka pasif, adalah ruang terbuka yang didalamnya tidak mengandung unsur-unsur kegiatan manusia misalkan, penghijauan tepian jalur jalan, penghijauan tepian rel kereta api, penghijauan tepian bantaran sungai, ataupun penghijauan daerah yang bersifat alamiah. Ruang terbuka ini lebih berfungsi sebagai keindahan visual dan fungsi ekologis belaka.

Fungsi Ruang Terbuka

Pada dasarnya fungsi ruang terbuka dapat dibedakan menjadi dua fungsi utama yaitu (Hakim, 2003 : 52) :

· Fungsi Sosial

Fungsi sosial dari ruang terbuka anatar lain:

a. tempat bermain dan berolahraga;
b. tempat bermain dan sarana olahraga;
c. tempat komunikasi sosial
d. tempat peralihan dan menunggu;
e. tempat untuk mendapatkan udara segar
f. sarana penghubung satu tempat dengan tempat lainnya;
g. pembatas diantara massa bangunan;
h. sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan;
i. sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan keindahan lingkungan.

· Fungsi Ekologis

Fungsi ekologis dari ruang terbuka antara lain (ITS, 1976 :
a. penyegaran udara, mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro;
b. menyerap air hujan;
c. pengendali banjir dan pengatur tata air;
d. memelihara ekosistem tertentu dan perlindungan plasma nuftah;
e. pelembut arsitektur bangunan.

Contoh perilaku manusia pada open space plaza :

Plaza Cihampelas Walk

Cihampelas Walk merupakan sebuah pusat perbelanjaan di Bandung yang didesain mengikuti konsep pusat-pusat perbelanjaan di Eropa dan Amerika yang sedang diminati yaitu konsep open mall. Awalnya CiWalk dibangun dengan tiga massa bangunan utama yang membentuk koridor dan plaza di antaranya. Namun, saat ini sudah banyak bangunan baru dengan gaya futuristik yang ditambahkan di sekitarnya.

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang plaza utama CiWalk. Plaza ini menjadi pusat aktivitas karena letaknya di antara bangunan-bangunan pusat perbelanjaan. Plaza utama ini merupakan plaza terluas dibandingkan plaza lainnya di CiWalk.

Spatio Temporal

Sebuah plaza yang baik adalah yang dapat menampung dan mewadahi segala aktivitas di dalamnya. Dengan aktivitas yang terjadi di dalamnya, maka sebuah space dapat dikatakan sudah menjadi place (tempat yang memiliki ruh/spirit kehidupan). Di CiWalk, plaza utamanya bisa dikategorikan pula sebagai spatio temporal, yaitu ruang yang bisa digunakan untuk berbagai fungsi yang berganti-ganti. Pada momen tertentu, plaza digunakan untuk kegiatan konser musik, bazar, dan pagelaran. Jika ada perayaan tertentu, plaza pun difungsikan dan didesain dengan tema perayaan tersebut, misalnya Lebaran, Tahun Baru, dan Natal.

Dalam kondisi biasa (tidak ada event tertentu), plaza lebih banyak difungsikan sebagai jalur lalu lalang yang hanya dilalui pengunjung untuk masuk ke dalam bangunan pusat perbelanjaannya.

Aktivitas Manusia

Banyak sekali aktivitas yang dapat dilakukan di plaza ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, di plaza ini sering diadakan konser, bazar, pameran, festival, dan lain sebagainya. Pada momen-momen tersebut, biasanya plaza dirancang sesuai dengan konsep acaranya masing-masing. Sedangkan jika tidak ada acara khusus yang berlangsung, plaza ini biasanya berfungsi sebagai jalur sirkulasi, tempat menunggu orang, dan tempat duduk serta berdiskusi. Namun, terkadang open space ini kurang direncanakan dengan baik sehingga kurang memberikan rasa nyaman bagi manusia untuk melakukan aktivitas didalamnya.


Open Space Area Cihampelas Walk




Ruang Terbuka Hijau pada open space plaza

Keberadaan ruang terbuka hijau pada open space plaza sangatlah penting. Hal ini dikarenakan RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya RTH, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Maka dari itu, keberadaan RTH ini pada open space plaza sangatlah penting, karena dapat melindungi manusia yang sedang melakukan aktivitas di dalamnya seperti memberikan keteduhan saat sedang berjalan, menunggu orang, dan saat duduk santai maupun berdiskusi.





Perilaku Manusia Pada Ruang Terbuka Hijau

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perilaku manusia adalah sekumpulan perilaku yang dimiliki oleh manusia dan dipengaruhi oleh adat, sikap, emosi, nilai, etika, kekuasaan, persuasi, dan/atau genetika.

Perilaku seseorang dikelompokkan ke dalam perilaku wajar, perilaku dapat diterima, perilaku aneh, dan perilaku menyimpang. Dalam sosiologi, perilaku dianggap sebagai sesuatu yang tidak ditujukan kepada orang lain dan oleh karenanya merupakan suatu tindakan sosial manusia yang sangat mendasar. Perilaku tidak boleh disalahartikan sebagai perilaku sosial, yang merupakan suatu tindakan dengan tingkat lebih tinggi, karena perilaku sosial adalah perilaku yang secara khusus ditujukan kepada orang lain. Penerimaan terhadap perilaku seseorang diukur relatif terhadap norma sosial dan diatur oleh berbagai kontrol sosial. Dalam kedokteran perilaku seseorang dan keluarganya dipelajari untuk mengidentifikasi faktor penyebab, pencetus atau yang memperberat timbulnya masalah kesehatan. Intervensi terhadap perilaku seringkali dilakukan dalam rangka penatalaksanaan yang holistik dan komprehensif.

Perilaku manusia dipelajari dalam ilmu psikologi, sosiologi, ekonomi, antropologi dan kedokteran

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku manusia

  • Genetika
  • Sikap – adalah suatu ukuran tingkat kesukaan seseorang terhadap perilaku tertentu.
  • Norma sosial – adalah pengaruh tekanan sosial.
  • Kontrol perilaku pribadi – adalah kepercayaan seseorang mengenai sulit tidaknya melakukan suatu perilaku.
  • Ruang publik terbuka khususnya ruang terbuka hijau merupakan salah satu kebutuhan masyarakat perkotaan saat ini dan itu menjadi paru-paru kota. Di ruang publik terbuka itu, warga dapat bersosialisasi melalu berbagai kegiatan seperti olahraga, bercengkerama, rekreasi, diskusi, pameran/bazar, dan lainnya.Anak-anak mungkin bisa bermain dengan leluasa di bawah teduhnya pohon-pohon yang rimbun. Singkatnya,ini menjadi tempat rekreasi dan olahraga yang menyenangkan tanpa harus mengeluarkan biaya.
  • Di Jakarta, tepatnya di daerah Menteng masih memiliki banyak ruang terbuka publik terbuka misalnya taman bermain, taman kompleks ( perumahan ), dan taman rekreasi. Salah satu ruang terbuka hijau yang masih bertahan hingga saat ini ialah Taman Suropati. Taman ini merupakan salah satu taman yang sering didatangi oleh masyarakat baik pagi, siang, maupun malam hari. Taman ini sering dipadati masyarakat karena banyak orang mengatakan bahwa tempat ini asri, sejuk, dan tenang dibandingkan dengan ruang public tetutup lainnya sehingga orang senang datang ke sini untuk menikmati sejuknya tanaman yang ada di taman ini.
  • Jenis taman terbagi jadi 2 yaitu :

a. Taman aktif

Yang memiliki fungsi sebagai tempat bermain, dengan dilengkapi elemen-elemen pendukung taman bermain antara lain ayunan, petung, dan sebagainya.

b. Taman pasif

Taman ini hanya sebagai elemen estetis saja, sehingga kebanyakan untuk menjaga keindahan tanaman di dalam taman tersebut akan dipasang pagar di sepanjang sisi luar taman.

Tiga nilai utama yang seharusnya dimiliki oleh ruang public agar menjadi ruang publik yang baik ialah ;

a. Ruang yang responsive

Artinya ruang public didesain dan diatur untuk melayani kebutuhan pemakainya. Selain itu ruang public menjadi suatu tempat menemukan hal-hal baru akan dirinya atau orang lain. Pada ruang public masyarakat juga dapat menemukan ide-ide baru, sehingga dapat dikatakan sebagai tempat mencari inspirasi.

b. Ruang yang demokratis

Ruang public harus dapat melindungi hak-hak kelompok pemakainya. Ruang public dapat dipakai oleh semua kelompok dan memberikan kebebasan bertindak bagi pemakainya sehingga untuk sementara mereka dapat memiliki ruang public tersebut. Ini berarti pada suatu ruang public, seseorang dapat bebas melakukan apa saja yang mereka inginkan tetapi tetap memperhatikan batasan ( norma ) yang berlaku sehingga tidak mengganggu kebebasan orang lain.

c. Ruang yang mempunyai arti atau makna

Ruang public harus dapat memberikan pemakainya berhubungan kuat dengan ruang public itu sendiri, kehidupan pribadinya, dan dunia yang lebih luas. Ruang public yang memberikan arti seperti ini akan membuat masyarakat selalu ingin berkunjung ke sana lagi.

Kualitas ruang public dapat ditinjau dari dua pokok segi yaitu segi fisik dan non fisik. Beberapa criteria yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas seara fisik, antara lain :

§ Ukuran

Ruang terbuka yang ada harus sesuai dengan keputusan serta standar penyediaan sarana yang ada. Contoh misalnya kebutuhan pedestrian ways yang baik ialah sekitar2,5 sampai 4 meter sehingga pejalan kaki merasa bebas bergerak.

§ Kelengkapan sarana elemen pedukung

Kelengkapan saranan pendukung dalam suatu ruang public sangat menentukan kualitas ruang tersebut. Beberapa kelengkapan pendukung dalam suatu ruang public khususnya taman misalnya tempat duduk, papan anjuran, tempat sampah, dan lampu jalan atau taman.

§ Desain

Desain dalam suatu ruang public akan menunjang fungsi serta aktivitas di dalamnya.

§ Kondisi

Kondisi suatu sarana lingkungan akan sangat menentukan terhadapa kualitas yang ada. Di mana dengan kondisi sarana yang baik akan menunjang kenyamanan, keamanan, dan kemudahan dalam menggunakan ruang public.

Sedangkan kualitas non fisik dapat dilihat melalui beberapa criteria, antara lain yaitu :

§ Kenyamanan ( comfort )

Yaitu ruang terbuka harus memiliki lingkungan yang nyaman serta terbebas dari gangguan aktifitas di sekitarnya.

§ Keamanan dan keselamatan ( safety and security )

Yaitu terjamin keamanan dan keselamatan dari berbagai gangguan ( aktifitas lalu-lintas, kriminalitas, dan lain-lain.

§ Kemudahan ( accessibility )

Yaitu kemudahan memperoleh pelayanan dan kemudahan akses transportasi untuk menuju ruang public tersebut.

Seni taman sebagai bagian dari Arsitektur ialah suatu bagian dari bidang seni yang berorientasi pada benda-benda hidup yang mempunyai evolusi yang tak henti-hentinya. Arsitektur Lansekap adalah perpaduan antara pengetahuan arsitektur dan perencanaan yang tidak hanya berbentuk gerombol penghijauan tapi juga meliputi pengerjaan konture, pembentukan kolam air, perencanaan jalan-jalan, menciptakan kerja antara benda hidup dan benda mati serta banyak lagi.

Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah

perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung

manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu

keamanan, kenyamanan, kesejahteraan dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot

kealamiannya, bentuk RTH dapat diklasifikasi menjadi :

(a) bentuk RTH alami (habitat liar/alami, kawasan lindung) dan

(b) bentuk RTH non alami atau RTH binaan (pertanian kota, pertamanan kota, lapangan olah raga,

pemakaman, )

Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya diklasifikasi menjadi

a) bentuk RTH kawasan (areal, non linear), dan

b) bentuk RTH jalur (koridor, linear),

Berdasarkan penggunaan lahan atau kawasan fungsionalnya diklasifikasi menjadi

a) RTH kawasan perdagangan,

b) RTH kawasan perindustrian,

c) RTH kawasan permukiman,

d) RTH kawasan pertanian,

e) RTH kawasan-kawasan khusus, seperti pemakaman, hankam, olah raga, alamiah.

Status kepemilikan RTH diklasifikasikan menjadi

a) RTH publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan publik atau lahan yang dimiliki oleh

2 biropembangunan.acehprov.go.id

pemerintah (pusat, daerah), dan

b) RTH privat atau non publik, yaitu RTH yang berlokasi pada lahan-lahan milik privat.

  • Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang rusak

adalah dengan pembangunan ruang terbuka hijau kota yang mampu memperbaiki keseimbangan

ekosistem kota. Upaya ini bisa dilakukan dengan cara membangun ruang terbuka hijau yang memiliki

beranekaragam manfaat. Manfaat ruang terbuka hijau diantaranya adalah sebagai berikut :

o Identitas Kota

Jenis tanaman dapat dijadikan simbol atau lambang suatu kota yang dapat dikoleksi pada areal RTH.

Propinsi Sumatra Barat misalnya, flora yang dikembangkan untuk tujuan tersebut di atas adalah Enau

(Arenga pinnata) dengan alasan pohon tersebut serba guna dan istilah pagar-ruyung menyiratkan

makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu manis (Cinnamomum burmanii), karena

potensinya besar dan banyak diekspor dari daerah ini (Fandeli, 2004).

o Nilai Estetika

Komposisi vegetasi dengan strata yang bervariasi di lingkungan kota akan menambah nilai keindahan

kota tersebut. Bentuk tajuk yang bervariasi dengan penempatan (pengaturan tata ruang) yang sesuai

akan memberi kesan keindahan tersendiri. Tajuk pohon juga berfungsi untuk memberi kesan lembut

pada bangunan di perkotaan yang cenderung bersifat kaku. Suatu studi yang dilakukan atas keberadaan

RTH terhadap nilai estetika adalah bahwa masyarakat bersedia untuk membayar keberadaan RTH

karena memberikan rasa keindahan dan kenyamanan (Tyrväinen, 1998).

o Penyerap Karbondioksida (CO2)

RTH merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting, selain dari fito-plankton, ganggang

dan rumput laut di samudera. Dengan berkurangnya kemampuan hutan dalam menyerap gas ini sebagai

akibat menyusutnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan dan kebakaran, maka perlu dibangun

RTH untuk membantu mengatasi penurunan fungsi RTH tersebut. Jenis tanaman yang baik sebagai

penyerap gas Karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen adalah damar (Agathis alba), daun kupukupu

(Bauhinia purpurea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia (Acacia auriculiformis), dan

beringin (Ficus benjamina). Penyerapan karbon dioksida oleh RTH dengan jumlah 10.000 pohon

berumur 16-20 tahun mampu mengurangi karbon dioksida sebanyak 800 ton per tahun (Simpson and

McPherson, 1999).

o Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berubah menjadi humus akan mengurangi tingkat erosi,

menurunkan aliran permukaan dan mempertahankan kondisi air tanah. Pada musim hujan laju aliran

permukaan dapat dikendalikan oleh penutupan vegetasi yang rapat, sedangkan pada musim kemarau

3 biropembangunan.acehprov.go.id

potensi air tanah yang tersedia bisa memberikan manfaat bagi kehidupan di perkotaan. RTH dengan

luas minimal setengah hektar mampu menahan aliran permukaan akibat hujan dan meresapkan air ke

dalam tanah sejumlah 10.219 m3 setiap tahun (Urban Forest Research, 2002).

o Penahan Angin

RTH berfungsi sebagai penahan angin yang mampu mengurangi kecepatan angin 75 – 80 % ( Hakim

dan utomo, 2004 ). Beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain RTH untuk menahan

angin adalah sebagai berikut :

  • · Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang memiliki dahan yang kuat.

a. Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin dengan kecepatan sedang

b. Memiliki jenis perakaran dalam.

c. Memiliki kerapatan yang cukup (50 – 60 %).

d. Tinggi dan lebar jalur hutan kota cukup besar, sehingga dapat melindungi wilayah yang

diinginkan.

  • · Penanaman pohon yang selalu hijau sepanjang tahun berguna sebagai penahan angin pada

musim dingin, sehingga pada akhirnya dapat menghemat energi sampai dengan 50 persen

energi yang digunakan untuk penghangat ruangan pada pemakaian sebuah rumah. Pada musim

panas pohon-pohon akan menahan sinar matahari dan memberikan kesejukan di dalam ruangan

(Forest Service Publications. Trees save energy, 2003).

o Ameliorasi Iklim

RTH dapat dibangun untuk mengelola lingkungan perkotaan untuk menurunkan suhu pada waktu siang

hari dan sebaliknya pada malam hari dapat lebih hangat karena tajuk pohon dapat menahan radiasi

balik (reradiasi) dari bumi. Jumlah pantulan radiasi matahari suatu RTH sangat dipengaruhi oleh

panjang gelombang, jenis tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar matahari, keadaan

cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada daerah berhutan lebih nyaman daripada daerah yang tidak

ditumbuhi oleh tanaman. Selain suhu, unsur iklim mikro lain yang diatur oleh RTH adalah kelembaban.

Pohon dapat memberikan kesejukan pada daerah-daerah kota yang panas (heat island) akibat pantulan

panas matahari yang berasal dari gedung-gedung, aspal dan baja. Daerah ini akan menghasilkan suhu

udara 3-10 derajat lebih tinggi dibandingkan dengan daerah pedesaan. Penanaman pohon pada suatu

areal akan mengurangi temperature atmosfer pada wilayah yang panas tersebut (Forest Service

Publications, 2003. Trees Modify Local Climate, 2003).

o Habitat Hidupan Liar

RTH bisa berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hidupan liar dengan keanekaragaman hayati yang

cukup tinggi. Hutan kota dapat menciptakan lingkungan alami dan keanekaragaman tumbuhan dapat

menciptakan ekosistem lokal yang akan menyediakan tempat dan makanan untuk burung dan binatang

lainnya (Forest Service Publications, 2003. Trees Reduce Noise Pollution and Create Wildlife and

Plant Diversity, 2003).

4 biropembangunan.acehprov.go.id

  • Ruang Terbuka Hijau Sebagai Acuan Perencanaan Tata Ruang.

Pada dasarnya, penataan ruang bertujuan agar pemanfaatan ruang yang berwawasan lingkungan,

pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan budi daya dapat terlaksana, dan pemanfaatan

ruang yang berkualitas dapat tercapai. Upaya penataan ruang juga dilakukan untuk menciptakan

pembangunan yang berkelanjutan dalam kaitan dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya.

Pengembangan tata ruang ditujukan untuk memberikan hasil yang sebesar besarnya dan bermanfaat

bagi kesejahteraan masyarakat, pendekatan yang akan dikembangkan mencakup dua hal :

¨ Pengaturan pemanfaatan ruang yang adil untuk masyarakat

¨ Memelihara kualitas ruang agar lestari dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya.

Di dalam Undang-Undang Penataan Ruang Nomor 26 tahun 2007 pasal 29 ayat (2) dijelaskan bahwa

proporsi 30 (tiga puluh) persen merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem

kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikrolimat, maupun sistem ekologis lain, yang

selanjutnya akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus

dapat meningkatkan nilai estitika kota. Untuk lebih meningkatkan fungsi dan proporsi ruang terbuka

hijau di kota, pemerintah, masyarakat, dan swasta didorong untuk menanam tumbuhan di atas

bangunan gedung miliknya.

Tujuan perencanaan tata ruang wilayah kota adalah mewujudkan rencana tata ruang kota yang

berkualitas, serasi dan optimal, sesuai dengan kebijaksanaan pembangunan daerah serta sesuai dengan

kebutuhan pembangunan dan kemampuan daya dukung lingkungan. Fungsi rencana tata ruang wilayah

kota adalah:

1. Sebagai penjabaran dari rencana tata ruang provinsi dan kebijakan regional tata ruang lainnya.

2. Sebagai matra ruang dari pembangunan daerah.

3. Sebagai dasar kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang di wilayah kota.

4. Sebagai alat untuk mewujudkan keseimbangan perkembangan antar wilayah kota dan antar

kawasan serta keserasian antar sektor.

5. Sebagai alat untuk mengalokasikan investasi yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta.

6. Sebagai pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang kawasan.

7. Sebagai dasar pengendalian pemanfaatan ruang

8. Sebagai dasar pemberian izin lokasi pembangunan skala besar.

Lebih jauh, rencana tata ruang kota dipergunakan sebagai acuan dalam penyusunan maupun

pelaksanaan program pembangunan di wilayah kota yang bersangkutan:

• Bagi departemen/instansi pusat dan pemerintah provinsi, digunakan dalam penyusunan

program-program dan proyek-proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan secara

terkoordinasi dan terintegrasi.

• Bagi pemerintah kota, digunakan dalam penyusunan program-program dan proyek-proyek

pembangunan lima tahunan dan tahunan di wilayah kota yang bersangkutan.

5 biropembangunan.acehprov.go.id

• Bagi pemerintah kota dalam penetapan investasi yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat dan

swasta, digunakan sebagai acuan dalam perijinan pemanfaatan ruang serta pelaksanaan kegiatan

pembangunan di wilayah kota.

Materi dalam rencana tata ruang kota memuat 4 (empat) bagian utama yaitu:

Tujuan pemanfaatan ruang wilayah kota, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

pertahanan kemanan, yang meliputi:

a. Tujuan pemanfaatan ruang

b. Konsep pembangunan tata ruang kota

c. Strategi pembangunan tata ruang kota

Rencana struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah kota, yang meliputi:

a. Rencana struktur tata ruang, yang berfungsi memberi arahan kerangka pengembangan wilayah,

yaitu:

- Rencana sistem kegiatan pembangunan

- Rencana sistem permukiman perdesaan dan perkotaan

- Rencana sistem prasarana wilayah

b. Rencana pola pemanfaatan ruang, yang ditujukan sebagai penyebaran kegiatan budidaya dan

perlindungan.

Rencana umum tata ruang wilayah, meliputi:

a. Rencana pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya.

b. Rencana pengelolaan kawasan perkotaan, perdesaan dan kawasan tertentu.

c. Rencana pembangunan kawasan yang diprioritaskan.

d. Rencana pengaturan penguasaan dan pemanfaatan serta penggunaan ruang wilayah.

  • Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota

Pengendalian merupakan upaya-upaya pengawasan, pelaporan, evaluasi dan penertiban terhadap

pengelolaan, penanganan dan intervensi sebagai implementasi dari strategi pengembangan tata ruang

dan penatagunaan sumber daya alam, agar kegiatan pembangunan yang memanfaatkan ruang sesuai

dengan perwujudan rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rencana tata ruang merupakan suatu rencana yang mengikat semua

pihak, yang berbentuk alokasi peruntukan ruang di suatu wilayah perencanaan. Rencana tata ruang

dengan demikian merupakan keputusan publik yang mengatur alokasi ruang, dimana masyarakat,

swasta dan pemerintah perlu mengacunya. Oleh karena itu, suatu rencana tata ruang akan dimanfaatkan

untuk diwujudkan apabila dalam perencanaannya sesuai dan tidak bertentangan dengan kehendak

seluruh pemanfaatnya serta karakteristik dan kondisi wilayah perencanaannya, sehingga dapat

digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang bagi para pemanfaatnya.

6 biropembangunan.acehprov.go.id




Pendekatan Psikologi Arsitektur dalam Perancangan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota-Kota Multikultural

Yulia Eka Putrie & Nunik Junara

Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang dan kurangnya rasa memiliki dari masyarakat pendatang terhadap kota tersebut. Citra kota pun terdegradasi akibat kenyataan ini. Karenanya, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural. Dengan pendekatan psikologi arsitektur, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah. Pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Salah satu contoh penerapan konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Masyarakat pendatang berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya pada RTH yang disediakan. Seluruh penduduk pun dapat menyaksikan bahwa para pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota. Taman-taman itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Dengan demikian, citra kota punmeningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.

Pendahuluan

Perkembangan setiap kota, sejak awal peradaban manusia hingga abad-abad terakhir, selalu diwarnai oleh pergerakan dan interaksi penduduknya dengan penduduk kota lainnya. Pergerakan dan interaksi ini dapat hanya berupa pergerakan sementara, namun dapat pula berupa perpindahan (migrasi) penduduk dari satu kota ke kota lain. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari, seiring dengan berkembangnya kebutuhan dan keinginan manusia di dalam setiap peradaban. Suatu kota yang pada awalnya secara kuantitas didominasi oleh etnis tertentu, dapat menjadi kota multikultural karena banyaknya pendatang dari berbagai daerah yang menetap di kota itu. Beberapa kota di Indonesia yang dapat dijadikan contoh kota multikultural ini adalah Jakarta, Surabaya, Palembang, Samarinda, Yogyakarta, Malang, Makassar dan Balikpapan.

Pada kota-kota dengan penduduk yang multikultural inilah, permasalahan lingkungan hidup acap kali berkaitan dengan meningkatnya jumlah pendatang. Meningkatnya jumlah pendatang seringkali tidak terprediksi sebelumnya oleh pemerintah kota yang bersangkutan. Hal ini mengakibatkan daya tampung kota yang terbatas terpaksa diperbesar dengan membuka daerah-daerah baru di sekeliling kota, yang sebenarnya merupakan daerah penyangga ekosistem kota dari bahaya banjir, peningkatan suhu dan polusi. Besarnya tekanan ekonomi akibat persaingan warga kota dengan pendatang juga kerap menyebabkan permasalahan-permasalahan lingkungan ini diabaikan. Pusat kota kian padat dengan aktivitas ekonomi, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang ada pun diselewengkan menjadi tempat transaksi jual-beli dilakukan. Tingginya laju pertumbuhan penduduk pada berbagai kawasan menyebabkan munculnya masalah umum yang menyertai pertumbuhan perkotaan yang amat cepat, seperti pengangguran, perumahan yang tak layak huni, kebakaran, menularnya penyakit, sanitasi yang buruk, drainase yang tersumbat, pencemaran air dan udara, sampah yang menumpuk, kerusakan lingkungan, sistem transportasi yang tidak manusiawi, dan sebagainya (Dyayadi, 2008).

Di balik fenomena-fenomena fisik yang dipaparkan di atas, ternyata terdapat pula banyak faktor nonfisik, di antaranya faktor psikologis, yang menyebabkan permasalahan lingkungan hidup di kota multikultural kian kompleks. Permasalahan yang tidak kasat mata, seperti kurangnya rasa memiliki oleh warga pendatang akan kota yang mereka tinggali, merupakan salah satu faktor utama bertambah parahnya permasalahan lingkungan hidup ini. Asas untung-rugi ekonomi yang sering dijadikan pertimbangan seseorang untuk menetap di suatu daerah menjadikan tidak terciptanya ikatan emosional mereka dengan kota itu, dibandingkan dengan ikatan emosional mereka dengan kota asal atau kota kelahiran mereka.

Lebih jauh, kesalahan dalam penanganan masalah-masalah nonfisik ini dapat meniadakan hubungan emosional antara para penduduk pendatang dengan kota yang mereka tinggali. Penanganan yang refresif seringkali tidak menghasilkan perbaikan pada tataran pemikiran. Kecenderungan manusia untuk bertindak defensif ketika diperlakukan secara represif telah banyak diperlihatkan di berbagai belahan dunia. Dyayadi dalam bukunya, “Tata Kota menurut Islam”, menyatakan pula bahwa upaya mengatasi urbanisasi dengan pendekatan konvensional hanya melahirkan kegagalan, karena birokrasi tidak mampu memahami kebutuhan, motif dan ketegaran kaum migran (Dyayadi, 2008). Pada akhirnya, perbaikan pada tataran fisik pun tidak dapat bertahan lama, karena tidak dibarengi perbaikan pada tataran pemikiran dan cara pandang.

Secara keseluruhan, seluruh permasalahan lingkungan hidup di atas akan berkaitan pula dengan citra kota yang bersangkutan, baik citra internal maupun citra eksternal. Secara internal, tidak ditemui keharmonisan dalam kehidupan penduduk di dalamnya, karena tidak adanya keterikatan emosional yang baik antara mereka dengan kota yang mereka tinggali. Kecenderungan-kecenderungan yang tampaknya sederhana namun sebenarnya merusak dapat diamati dari kebiasaan membuang sampah sembarangan di jalan ataupun di sungai. Secara eksternal, citra kota mengalami penurunan, baik di mata para wisatawan atau pengunjung, maupun di mata penduduk kota lain. Terdegradasinya citra kota ini pada gilirannya akan berakibat pula pada penurunan tingkat ekonomi kota yang bersangkutan. Inilah lingkaran setan yang harus diputus, agar dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan di kota multikultural.

Untuk itu, penyediaan RTH sebagai salah satu jalan penyelesaian permasalahan lingkungan hidup, selain mempertimbangkan faktor-faktor fisik, juga harus mempertimbangkan faktor-faktor psikologis penduduk yang multikultural ini. Pertimbangan-pertimbangan psikologis ini meliputi perilaku keruangan (territoriality) dan pemenuhan kebutuhan dasar manusia (basic human needs). Dari sudut pandang psikologi arsitektur, faktor-faktor psikologis yang tidak kasat mata ini justru berpengaruh besar terhadap keberhasilan perancangan arsitektur. Karena itu, pendekatan psikologi arsitektur dapat dijadikan salah satu alternatif dalam perancangan RTH di kota multikultural.

Pembahasan

Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa poin penting dalam aspek psikologis manusia yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan kependudukan dan lingkungan hidup yang dihadapi oleh kota-kota multikultural. Dari teori-teori teritorialitas, diketahui bahwa personalisasi pada suatu teritori, walaupun teritori itu bukan hak milik secara mutlak, akan memberikan kesempatan kepada seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan mereka akan citra diri dan pengakuan dari orang lain. Sementara itu, dari paparan tentang kebutuhan dasar manusia diketahui bahwa secara umum, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan fisik dan psikologis berupa kebutuhan fisiologis (physiological needs), keamanan (safety), rasa memiliki (belongingness), penghargaan (esteem), dan aktualisasi-diri (self-actualization). Tiga di antaranya, yaitu rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri merupakan faktor yang sangat signifikan dalam membentuk kesadaran manusia secara persuasif.

Melalui pemahaman akan pentingnya pendekatan psikologi arsitektur ini, pemerintah dapat lebih bertindak sebagai pendorong dan pengarah, dibandingkan bertindak sebagai pengatur dan pemaksa. Peraturan-peraturan pemerintah yang sebagian besar bersifat fisikal harus didukung pula dengan tindakan-tindakan persuasif berdasarkan pemahaman akan kondisi psikologis para penduduknya. Telah jamak terjadi di berbagai negara, tindakan-tindakan anarkis dan defensif dari penduduk sebagai buah dari tindakan-tindakan represif pemerintahnya. Buruknya hubungan antara pemerintah dengan penduduk ini pada gilirannya mengakibatkan buruknya citra kota yang bersangkutan di mata para penduduk kota itu sendiri. Pada akhirnya, setiap peraturan yang dikeluarkan hanya dituruti dalam pengawasan ketat dan keadaan terpaksa. Ketika pengawasan itu berkurang, peraturan itu pun tidak lagi dituruti oleh masyarakat, baik pendatang maupun penduduk asli kota itu.

Sebaliknya, dengan pendekatan yang persuasif, pemerintah dapat menanamkan rasa bangga dan ikut memiliki kepada masyarakat pendatang. Pengetahuan-pengetahuan akan pentingnya teritorialitas, personalisasi dan kebutuhan psikologis berupa rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri, seperti dipaparkan di atas, semestinya merupakan bekal yang sangat berharga dalam pendekatan yang persuasif ini. Ketika para penduduk merasa cukup dihargai, didengarkan dan diberi kesempatan untuk turut memperbaiki kota yang mereka tinggali, maka rasa memiliki itu akan muncul dengan sendirinya dan kesadaran untuk memelihara dan menjaga lingkungan kotanya akan tertanam lebih kuat di dalam diri mereka.

Salah satu contoh aplikasi konsep ini adalah dengan lomba taman yang tampaknya sederhana. Pemerintah dapat bertindak selaku pencetus diadakannya lomba semacam ini, sekaligus sebagai pengatur RTH yang tersedia. Masyarakat asli dan pendatang dapat berperan melalui paguyubannya masing-masing untuk menampilkan segi-segi positif yang dibawa dari daerah asal mereka pada RTH yang disediakan. Tentu saja, pemerintah harus tetap melakukan pengawasan agar segi-segi positif itu tidak malah menyinggung atau merendahkan daerah lainnya.

Salah satu contoh kota yang pernah memberi kesempatan kepada paguyuban-paguyuban masyarakat pendatang untuk menampilkan segi-segi positif daerahnya adalah kota Balikpapan. Kota yang didominasi oleh para pendatang ini membagi satu lokasi RTH menjadi beberapa kavling yang berdampingan sebagai area kreativitas para pendatang. Peran pemerintah ini pada gilirannya mampu mengangkat citra kota Balikpapan sesuai dengan slogannya, yaitu kota yang bersih, indah, aman dan nyaman.

Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Hal ini pada gilirannya dapat pula berimbas pada kondusifnya situasi keamanan di kota multikultural itu. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan kondusifnya kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial ini, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.

Di balik semua itu, tentu pada konsep dan pendekatan ini terdapat kekurangan-kekurangan yang harus pula dipaparkan. Namun demikian, pemaparan kekurangan-kekurangan dari konsep dan pendekatan ini diharapkan dapat memacu lahirnya konsep-konsep dan pendekatan-pendekatan yang jauh lebih baik di kemudian hari. Selain itu, kekurangan-kekurangan itu diyakini bukan tanpa jalan keluar. Pemaparan ini dimaksudkan pula sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mencari jalan keluar dari kekurangan-kekurangan itu sendiri.

Kekurangan pertama adalah kemungkinan berlebihnya keinginan dari masing-masing penduduk pendatang untuk menonjolkan kelebihan dirinya sendiri. Hal ini dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat di antara para penduduk pendatang itu. Walaupun begitu, adanya pendampingan yang intensif dari pemerintah dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan semacam itu.

Kekurangan kedua adalah adanya kemungkinan berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung diadakannya lomba taman ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk dapat mendorong kreativitas mereka dalam kondisi yang terbatas itu dapat berimbas pada makin inferiornya mereka terhadap kelompok masyarakat pendatang lainnya. Dengan demikian, pemerintah diharapkan dapat mendorong kreativitas itu dengan motivasi-motivasi yang tepat, serta dapat pula memberikan bantuan dana kepada setiap paguyuban peserta lomba.

Ketiga, adanya kemungkinan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba. Hal ini, salah satunya dapat diatasi dengan pengalihan pemeliharaan kepada instansi terkait yang memang bertanggung jawab dalam pemeliharaan taman dan ruang terbuka hijau di kota itu.

Selain salah satu contoh penerapan pengetahuan psikologi arsitektur di atas, tentu masih banyak lagi alternatif perancangan RTH dengan pendekatan ini. Hal ini dapat dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing pemerintah kota, sesuai dengan karakteristik dan potensi yang ada di masing-masing wilayah.

Penutup

Dari paparan panjang di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai aplikasi pendekatan psikologi arsitektur dalam konsep perancangan ruang terbuka hijau (RTH), khususnya pada kota-kota multikultural, sebagai berikut:

  1. Pentingnya pengetahuan dan pemahaman akan adanya aspek-aspek psikologis yang turut menentukan keberhasilan penanganan masalah kependudukan dan lingkungan hidup di kota-kota multikultural.
  2. Aspek-aspek psikologis yang mempengaruhi itu antara lain adalah teritorialitas, personalisasi, kebutuhan akan rasa memiliki, penghargaan dan aktualisasi-diri.
  3. Pendekatan psikologi arsitektur berdasarkan aspek-aspek psikologis di atas terutama ditekankan pada peran pemerintah sebagai pendorong dan pengarah kepada partisipasi masyarakat pendatang dalam penyelesaian masalah lingkungan hidup dan kependudukan di kota yang bersangkutan.
  4. Dampak positif yang dapat diamati dari aplikasi pendekatan psikologi arsitektur pada lomba taman di atas adalah seluruh penduduk, baik asli maupun pendatang, dapat menyaksikan bahwa masyarakat pendatang telah ikut berpartisipasi dalam pemeliharaan lingkungan kota mereka. Selain itu, taman-taman kota itu menjadi daya tarik visual yang tidak sekedar menunjukkan eksistensi masyarakat pendatang, tetapi juga mendorong mereka untuk menjadi bagian dari kota yang mereka tinggali.
  5. Keterikatan emosional yang terjadi karena adanya rasa memiliki, aktualisasi-diri dan penghargaan pada diri masyarakat pendatang merupakan dasar yang kuat bagi timbulnya kesadaran untuk menjaga lingkungan alam dan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, citra kota pun akan meningkat, baik di mata penduduknya sendiri maupun di mata para wisatawan.
  6. Kekurangan dari konsep ini adalah adanya kemungkinan-kemungkinan persaingan yang tidak sehat akibat keinginan yang berlebih untuk menonjolkan diri, berbedanya kemampuan masing-masing paguyuban untuk menyediakan sarana dan prasarana pendukung, dan menurunnya semangat masing-masing paguyuban pada saat pemeliharaan pasca-lomba.
  7. Pengembangan dari pendekatan psikologi arsitektur dalam perancangan RTH di masing-masing kota multikultural dapat dilakukan oleh pemerintah kota berdasarkan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah