Minggu, 13 Februari 2011

PENGENALAN KONSEP KONSERVASI ARSITEKTUR BALI



Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah:
• Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga
• Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala
• Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu
• Konsep proporsi dan skala manusia
• Konsepcourt, Open air
• Konsep kejujuran bahan bangunan

Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan arsitektur, yang merupakan asal-usul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone:
• Nista (bawah, kotor, kaki),
• Madya (tengah, netral, badan) dan
• Utama (atas, murni, kepala

Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbu-sumbu itu antara lain:
• Sumbu kosmosBhur,Bhuw ah danSw ah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)
• Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari)
• Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut)

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali Bangunan Hunian Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian.
Pada pintu masuk (angku l -angkul ) terdapat tembok yang dinamakanaling- aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Pada bagian ini terdapat bangunanJi neng (lumbung padi) danpaon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten.
Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka. Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga).

A. DISKRIPSI DESA DI BALI
Tenganan Pegeringsingan adalah salah satu desa-desa kuno di Bali, yang dikenal sebagai Desa Bali Aga. Bali Aga sudah hidup di Bali jauh sejak sebelum kedatangan masyarakat Hindu Jawa yang mungkin dapat memberikan sedikit banyak pengaruh dan bentuk baru pada budaya Bali modern.
Desa Tenganan adalah salah satu desa kuno yang masih memiliki budaya dan tradisi asli. Tenganan sudah dilindungi sejak berabad-abad dari dunia luar dengan dinding-dinding yang mengelilingi desa tersebut. Desa Tenganan terletak di Bali Timur antara Klungkung dan permukiman Karangasem, sekitar 18 km dari kota Amlapura dan 66km sebelah Timur ibukota Bali Denpasar. Pada tahun 1997 Tenganan memiliki sekitar 300 penghuni. Tepatnya Desa Tenganan terletak di Perumahan Distrik Karangasem. Desa ini hanya dapat dicapai melalui satu akses jalan untuk kendaraan bermotor, dicapai dari jalan utama Klungkung-Karangasem atau dari Pantai Candi Dasa (pura tua di dalam area). Karangasem sendiri kaya akan ragam aturan kuno yang berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Hal ini dapat ditemukan di dalam desa-desa yang mendapat pengaruh dari Jawa setelah abad 14.



Desa Tenganan Pegeringsingan adalah salah satu desa di Perumahan Karangasem, dan satu-satunya tempat di Indonesia dimana bahan tenun dobel ikat geringsing dibuat. Hal inilah yang menyebabkan desa ini akhirnya dikenal sebagai desa Tenganan Pegeringsingan – Desa Geringsing. Pada perayaan-perayaan khusus, terdapat banyak sekali ritual yang beragam dengan upacara tari-tarian bagi laki-laki dan perempuan,
Masyarakat Desa Tenganan Pegeringsingan mempunyai Hindu Indra atau aturan-aturan Hindu kuno, yang mempertimbangkan Dewa Indra sebagai Dewa tertinggi dalam orientasi kehidupan mereka sehari-hari menjadi obyek untuk disembah.




Kondisi-kondisi yang disebutkan di atas membawa masyarakat untuk membangun tempat tinggal mereka dan bangunan-bangunan fasilitas bersama dengan cara yang berbeda Arsitektur dan layout dari desa sangat berbeda, lebih lanjut banyak aturan-aturan yang berlaku di kehidupan masyarakat terlihat berbeda.
Secara administratif, Desa Tenganan Pegeringsingan mempunyai tiga kelompok masyarakat kecil yang dikenal sebagai Banjar Adat. Ketiga Banjar Adat tersebut adalah Banjar Kauh, Banjar Tengah dan Banjar Kangin/ Banjar Pande. Banjar Kangin/ Banjar Pande terletak di bagian timur dari desa, untuk mengalokasikan semua orang di dalam lingkungan masyarakat yang telah melakukan pelanggaran aturan tradisi dan budaya. Selanjutnya, area ini juga tertutup bagi pendatang-pendatang baru.
Pola lingkungan binaan yang sudah ada berisi semua kavling rumah dan tiga sirkulasi, yang mempunyai orientasi pada sirkulasi utama (di pusat Banjar Tengah). Tiga sirkulasi utama tersebut juga mempunyai fungsi sebagai ruang interaksi untuk sosialisasi. Koridor dan jalur sirkulasi, yang terjadi karena pola kavling rumah, membentuk pola jalan menuju jalur utama. Hal tersebut dapat dibedakan dengan skala dan dimensi jalan yang ada (jalan primer, sekunder dan tertier). Dari fungsinya, jalan tersebut dapat dibedakan sebagai ruang-ruang publik untuk aktifitas sosial, budaya dan ekonomi.




Dari pola eksisting fisik lingkungan binaan di dalam Desa Tenganan, terlihat jelas bahwa filosofi dasar dari arsitektur tradisional bali khususnya konsep dasar keseimbangan alam – Tri Hita Karana – adalah merupakan satu konsep yang memadukan keharmonisan tiga komponen yang dipengaruhi kehidupan sosial dan kebahagiaan.

B. TUJUAN PENUNJUKAN DAERAH KONSERVASI
Beberapa tahun sebelum peraturan tentang konservasi diperkenalkan, konsep konservasi ditekankan pada lingkungan manusia dan kebutuhan akan pendekatan secara komprehensif (Covarrubias, 1946). Untuk itu, saat ini konservasi tidak hanya memperdulikan obyek fisik saja, dan juga nilai-nilainya saja, namun juga menyangkut masalah sosial ekonomi dan fenomena budaya (Budihardjo, 1991). Melestarikan peninggalan arsitektur, di Indonesia dan Bali khususnya, tidak sesederhana seperti memberi warna atau meningkatkan secara estetika sebuah lingkungan dan kemudian meningkatkan penampilan visualnya. Konservasi adalah sebuah aktifitas yang menyebabkan sebuah perubahan komunitas dalam hal sosial, ekonomi, dan budaya dan kemudian menjadi masyarakat yang berkelanjutan.
Kunci dari hal ini adalah identifikasi dari nilai-nilai yang terbagi dan juga konsep yang ditangani oleh komunitas. Tugas yang paling penting dalam melestarikan peninggalan arsitektur Bali adalah menemukan konsep filosofi dasar dari arsitektur Bali. Ide yang harus digarisbawahi disini adalah bahwa konsep tersebut harus selalu digunakan walaupun dalam penerjemahannya akan berbeda-beda hasilnya seperti dalam hal bentuk fisik yang berbeda.
Dengan adanya ide tentang keharmonian antara yang lama dan yang baru, bangunan-bangunan yang berbeda saat mencoba untuk mempertahankan karakter individu masing-masing, mengkombinasikannya untuk membuatnya lebih baik dan total. Secara khusus, mencampurkan antara yang lama dan yang baru secara keseluruhan akan lebih baik daripada hanya menambahkan bagian-bagian. Kemudian, hal yang paling penting mungkin dapat menyerang keseimbangan tanpa mengkompromikan nilai-nilai tradisi yang relevan dan inovasi yang esensial.

Kemudian untuk memenuhi konsep konservasi, Bali harus memberi perhatian lebih pada pelestarian budaya, filosofi dan konsep serta ide dasar disain. Hal ini secara pasti akan mengawali pengaruh-pengaruh kuat untuk merubah yang tidak dapat dihindari ketika secara simultan masyarakat berusaha untuk mempertahankan semua hal yang bernilai baik dari masa lampau, yaitu tujuan paling penting dari konservasi. Satu dari program awal dari pemerintah lokal Bali adalah dengan menggulirkan Desa-desa tua di Bali yang mencoba untuk menjaga budaya aslinya (seperti Desa Penglipuran, Desa Tenganan dan Desa Trunyan) sebagai daerah konservasi di Bali.
Sebagai Desa Tua, Tenganan Pegeringsingan menjadi tempat yang menarik bagi turis yang pertama di Bali sejak Bali menjadi daerah turis di Indonesia (Department of Tourism Board, 1999). Selanjutnya, keunikan dari bentuk bangunan, pola-pola rumah, pola-pola desa dan pola kehidupan masyarakat Bali serta tradisi kuatnya menjadi nilai-nilai yang atraktif bagi turis asing untuk dating ke Desa Tua tersebut.
Tenganan Pegeringsingan terpilih menjadi daerah konservasi karena keasliannya, keunikannya dan tradisi serta budayanya. Masyarakat Tenganan memiliki aturan untuk melestarikan dan meningkatkan lingkungan di dalam desa tanpa harus merusak kehidupan mereka dan tanpa mempengaruhi secara negative nilai-nilai tradisional mereka.


DAFTAR PUSTAKA
About the Bali and Beyond Netsite. (1999). Http://www.balibeyond.com/
Alit, IK et al. (1986). Laporan Penelitian (Research Report). Pengaruh Teknologi
Modern Terhadap Perkembangan Arsitektur Tradisiona. University of Udayana. Bali. Indonesia.
Bali Paradise Online. (1999). Bali Paradise. Http://www.bali-paradise.com
Barnett, Winston and Cyril Winskell. (1977). A Study of Conservation. London:Routledge.
Bateson, G and Margaret Mead. (1942). Balinese Character: A Photographic Analysis. The New York
Academy of Sciences. United States of America.
Bhirawa, B et al. (1985). Jawa Bali, Sebuah Pengamatan Arsitektur. Studi Ekskursi
Jurusan Arsitektur, Universitas Indonesia. Jakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1991). Conservation and Restoration. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997a). Kepekaan Sosio-Kultural Arsitek. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997b). Arsitektur yang Berakar Tradisi. Djambatan. Jakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997c). Identitas Arsitektur dan Lingkungan. Karya Unipress. Jakarta.
Indonesia.
Budihardjo, E. (1997d). Konservasi Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Djambatan.
Jakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997e). Revitalisasi Pusat Kota Lama. Djambatan. Jakarta. Indonesia.
Budihardjo, E. (1997f). Arsitektur Pembangunan dan Konservasi. Djambatan. Jakarta.
Indonesia.
Budihardjo, E. (1997g). Preservation and Conservation of Cultural Heritage in
Indonesia.. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia.
Covarrubias, M. (1946). Island of Bali. London: Routledge.
Larkham, PJ. (1996). Conservation and the City. London: Routledge.
Sulistyawati. (1998). Konservasi Desa Kuno dalam Antisipasi Pariwisata. Dimensi
Teknik Arsitektur Vol. 25. LPKKM-Universitas Petra. Surabaya. Indonesia.
Sulistyawati. (1999). Design Guidelines of an Old Traditional Village in Anticipating
Tourism Impact. Universitas Udayana. Bali. Indonesia.

1 komentar:

RENO WARZI mengatakan...

selamat siang, mau tanya dong , sebenarnya bale itu apa ? knapa di setiap artikel yang saya kunjungi jika berbicara tentang kajian ruang pda rumah bali, disitu mnjelaskan tentang bale yg berbeda2, jika pda artikel inibrcerta tentang (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) yg mrupakan ruang terbuka, dan berada di zona nista , tetapi di artikel lain juga brcrta tentang ada nya ( BALE DAJA , BALE DANGIN, BALE DAUH ,DAN BALE DELOD) emng apa perbedaan antara semua bale itu? terimaksih mohon info nya.

Posting Komentar